DPPPA Makassar Sosialisasi Perlindungan Anak Korban Eksploitasi Seksual
MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Berdasarkan pencatatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Makassar, angka kekerasan meningkat dari tahun tahun sebelumnya.
Hingga Agustus 2023 ini, kasus kekerasan perempuan dan anak di Kota Makassar mencapai 300 kasus.
Adapun tren kasus kekerasan seksual anak merupakan yang tertinggi.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar pun menegaskan perlunya keseriusan dalam hal perlindungan anak.
Hal ini disampaikan Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak DPPPA, Sulfiani Karim, Jumat (4/8/2023) pada “Diseminasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Anak Korban Eksploitasi Seksual” di Arthama Hotel Makassar.
“Mengapa anak perlu dilindungi? karena mereka belum bisa memperjuangkan hak haknya,” kata Sulfiani.
Sulfiani menjelaskan, pendidikan seksual perlu diberikan kepada anak sesuai umurnya.
Ini dilakukan agar anak dapat mengenali dan melindungi dirinya dari segala risiko kekerasan dan eksploitasi seksual.
“Bukan berarti mengajarkan mereka untuk melakukan seks, tetapi untuk melindungi dirinya,” jelasnya.
Pelibatan dan kepedulian seluruh lapisan masyarakat pun dibutuhkan, ungkap Sulfiani.
“Perlindungan anak ini perlu kita lakukan semua, sesuai progran walikota, Jagai Anakta,” katanya.
Kegiatan sosialisasi ini menghadirkan 2 narasumber, yakni Andi Hasbi (Peneliti), dan Titin Florentina Purwasetiawatik (Psikolog).
Andi Hasbi mengungkapkan, sekira 70% persoalan masyarakat itu terjadi karena media online.
Sementara itu, 56% insiden eksploitasi seksual dan perlakuan salah terhadap anak Indonesia yang terjadi di dunia maya tidak diungkapkan atau dilaporkan.
“Itu data UNICEF,” beber Hasbi.
Menurutnya, kejadian kekerasan dan eksploitasi anak banyak berawal dari hal hal kecil, seperti kurangnya komunikasi antar keluarga.
“Kalau orang tua tidak bisa konseling dan ajak bicara anak, nanti anaknya konseling ke tempat lain. Celakanya, kalau dia ketemu orang yang salah,” tutur Hasbi mengingatkan.
Ia menambahkan, masyarakat mesti sering diingatkan terkait kegiatan eksploitasi yang saat ini sudah menjadi kejahatan internasional.
“Tidak ada cara selain duduk bersama. Semua stakeholder harus bersinergi. Literasi digital juga harus mumpuni, baik anak maupun orang tua,” tandasnya.
Selanjutnya, Titin Florentina Purwasetiawatik memaparkan ciri untuk mengenali anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Orang tua dituntut untuk memperhatikan perubahan sikap dan fisik pada anak, termasuk jika terjadi stress pascatrauma, dan tanda lainnya.
Titin pun berpesan agar persepsi penanganan kasus kekerasan seksual harus disamakan.
“Dalih apapun yang menjadi penyebab perilaku seksual pada anak adalah perilaku menyimpang. Jangan asal dibiarkan karena dianggap khilaf,” ujarnya.
Sebab, anak yang mendapat kekerasan seksual dinilainya sulit direhabilitasi.
“Kasihan anak yang korban kekerasan seksual. Traumanya itu tidak hilang. Seperti kaca yang terlanjur pecah, lem apapun tidak bisa merekatkan dengan sempurna,” pungkas Titin.
Diketahui sosialisasi ini sudah pada tahap ke V dan ditargetkan ke kelurahan se-Kecamatan Mamajang Kota Makassar.
Hadir Binmas, Babinsa, LPM, RT, RW, tokoh pemuda, Kader PKK, dan Shelter Warga se-Kecamatan Mamajang.
Tinggalkan komentar