Kepala DPPPA Makassar Imbau Warga Kurangi Pekerja Anak Tuk Atasi Kemiskinan Ekstrem
MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Saat ini semua lini, utamanya pada pemerintahan, berkewajiban untuk melakukan pengentasan terhadap isu besar kemiskinan ekstrem.
Kota Makassar sendiri memiliki catatan terkait angka kemiskinan ekstrem yang dinilai mengalami kenaikan.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar, Achi Soleman, di Hotel Best Western Plus. Kamis (13/6/2024).
“Kalau saya tidak salah, dari catatan yang diberikan, ada kenaikan kurang lebih 5%,” ungkapnya dalam kegiatan bertajuk Strategi Pemenuhan Hak Anak Pada Bentuk Pekerja Anak di Sektor Pengelolaan Sampah di Kota Makassar tersebut.
Achi menyebut, salah satu jalan keluar dari kemiskinan tersebut adalah melakukan pemenuhan hak anak, termasuk hak mendapat pendidikan 12 tahun.
Meski begitu, ia mengaku tak menutup mata pada realita banyaknya anak putus sekolah dan jadi pekerja anak.
“Kita tidak menutup mata masih banyak pekerja anak, putus sekolah dan ikut orang dewasa misalnya di mobil sampah, ikut memulung, atau kerja buruh di pasar,” tuturnya.
Di Makassar sendiri, lanjut Achi, ada program dan inovasi untuk mengembalikan anak ke sekolah.
“Kalaupun tidak sekolah, ada kewajiban pemerintah untuk dia mendapatkan pengetahuan apakah dengan kejar paket atau skill lainnya,” tambahnya.
Ia pun berharap kegiatan edukasi dan sosialisasi yang dilakukan Pemkot Makassar dapat berefek mengurangi pekerja anak.
“Anak anak butuh arahan dari orang tua, anak anak juga bisa advokasi atau edukasi temannya terkait bagaimana mengurangi pekerja anak,” tutupnya.
Narasumber kegiatan, Nyoman Anna (Save the Children) membenarkan adanya hubungan antara kemiskinan dan pekerja anak.
Menurutnya, pekerja anak mengabadikan kemiskinan. Ini merupakan siklus berulang dimana keluarga hidup dalam kemiskinan-anak terpaksa bekerja-anak tidak mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang baik-tidak mendapatkan pekerjaan yang layak ketika mereka dewasa-menikah dan punya anak-dan seterusnya.
Bahkan Presiden melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada program prioritas nasional mengarahkan untuk menekan angka pekerja anak.
Pekerja anak ini, jelas Anna, didefinisikan berbeda dengan “anak yang bekerja”.
“Pekerja anak” adalah mereka yang usia anak, melakukan pekerjaan yang membahayakan kesejahteraan, mengganggu pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang, dan masa depan anak.
“Anak yang bekerja” justru sebaliknya. Pekerjaan yang dilakukan tidak membahayakan kesejahteraan, serta tidak mengganggu pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang dan masa depan anak.
“Lebih banyak memang di sini (pekerja anak) mengganggu pendidikannya, contohnya anak yang harus bekerja sehingga dia tidak sekolah,” ujarnya.
Anna melanjutkan, ada pula istilah Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) yang sama sekali tidak boleh dilakukan oleh anak. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2023, ada 13 BPTA di Indonesia, di antaranya:
1. anak yang dilacurkan
2. anak yang bekerja di pertambangan
3. anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara
4. anak yang bekerja di sektor konstruksi
5. anak yang bekerja di jermal
6. anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
7. anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak
8. anak yang bekerja di jalan
9. anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
10. anak yang bekerja di industri rumah tangga
11. anak yang bekerja di perkebunan
12. anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu
13. anak yang bekerja di industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya.
Anna pun menyebutkan masih besarnya tantangan untuk mengentaskan pekerja anak, seperti belum adanya regulasi di tingkat daerah, ekonomi keluarga, tingginya angka pekerja anak di sektor domestik sehingga sulit teridentifikasi, serta masih kurangnya edukasi kepada orang tua terkait bahaya pekerja anak bagi tumbuh kembangnya.
Narasumber lainnya, Indah Amriani (Ketua Shelter Warga Kelurahan Manggala) mengajak para pendamping yang hadir untuk sabar dalam mengedukasi warga.
Hal ini karena masih banyaknya orang tua yang bersikeras mempekerjakan anaknya dengan alasan ekonomi.
“Padahal harusnya orang tua yang me-manage bagaimana keuangan itu cukup. Jangan hak anak yang dikorbankan,” tegasnya.
Indah menambahkan, jelas bahwa pekerja anak memiliki sisi negatif yang dapat merampas haknya, sekaligus menyerang perkembangan fisik dan mentalnya.
Apalagi anak yang melakukan BPTA, misalnya yang melakukan pelecehan atau dilecehkan saat bekerja. Ini merupakan pembiaran atau penelantaran yang dilakukan oleh orang tua.
“Untuk pendamping, terus mengedukasi dan pendekatan ke orang tuanya tentang bahaya mempekerjakan anak,” tuturnya.
“Untuk Bunda…harus memikirkan, janganki kodong rampas masa depan anak anakta, dia masih mau menikmati sekolahnya, belajarnya, bercengkerama dengan temannya,” pesannya lagi kepada para orang tua yang turut hadir.
Tinggalkan komentar