Dinamis, Diskusi Pemkot dan Media di Makassar Dorong Pemberitaan Beretika

27
Feb 2024
Kategori : BERITA
Penulis : admin
Dilihat :260x

MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Pemerintah Kota Makassar menggelar diskusi bersama berbagai perwakilan awak media di Hotel Karebosi Premier, Selasa (27/2/2024).

Diskusi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Makassar ini bertajuk Perempuan Dalam Perspektif Industri Media.

Kepala DPPPA Makassar, Achi Soleman, menjelaskan bahwa Makassar termasuk yang nilainya di atas rata-rata nasional maupun Provinsi Sulsel dalam hal Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender.

Tentunya, kata Achi, pencapaian tersebut adalah hasil kolaborasi seluruh pihak, termasuk media massa.

“Salah satu indikator keberhasilan perlindungan perempuan dan anak itu ada di media massa,” ungkapnya.

Achi berharap ke depannya seluruh awak media selalu memiliki perspektif korban dalam memberitakan kasus kasus kekerasan. Hal ini sejalan dengan kode etik yang ada.

“Kalau ada kasus, perspektif yang harus dibangun. Jangan sampai dia sudah korban, jadi korban lagi. Etika dalam pemberitaan, itu yang kami harapkan,” pesannya.

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DPPPA Makassar, Hapidah Djalante, juga meminta awak media agar dalam menggali informasi, mesti dari sumbernya langsung.

“Ada banyak kasus belum jelas, langsung dinaikkan ke media. Setelah kami info ke yang me-mediakan, dia (awak media) bilang saya dapat dari situ. Saya bilang belum, masih mentah, masih perlu pengolahan lebih lanjut,” ujarnya.

Dirinya turut berharap agar pemerintah bersama media massa dapat memiliki perspektif yang adil.

“Mari bersama sama mengedukasi dan mengupayakan perspektif gender dimana dapat membangun perspektif lebih adil dalam membingkai perempuan di media,” ujarnya.

Media Massa dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) 

Diskusi ini dipantik oleh dua narasumber, yaitu Fadiah Machmud (Ketua Lembaga Perlindungan Anak Sulsel) dan Abdul Manaf Rachman (Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Organisasi)

Fadiah mempertanyakan apakah media secara tepat sudah memperlakukan perempuan sebagai pemegang hak yang setara.

Katanya, ada fakta bahwa baik tayangan film, sinetron, berita, atau iklan, sering menampilkan peran peran dengan presentase yang merugikan perempuan.

Fadiah lalu mengingatkan bahwa media massa mampu mempengaruhi perspektif itu.

“Melalui pemberitaan tentang isu perempuan, media massa mampu mempengaruhi cara pandang yang membaca. Saya kira itu yang jadi poin dalam diskusi ini,” tandasnya.

Adapun narasumber lainnya, Abdul Manaf Rachman, mengungkapkan keprihatinan Dewan Pers soal wartawan yang seringkali menulis berita secara vulgar.

“Padahal dalam PPRA sudah diatur ada hal hal yang tidak perlu diungkap ke publik,” katanya.

PPRA tersebut, jelasnya, bertujuan mendorong pers menghasilkan berita bernuansa positif, berempati, dan bertujuan melindungi hak, harkat, dan martabat anak yang terlibat persoalan hukum.

Hal yang sama berlaku untuk pemberitaan terhadap kasus kasus perempuan.

Abdul Manaf lalu menyebutkan adanya 12 aspek yang mesti diperhatikan wartawan, sebagai berikut:

1. Wartawan harus merahasiakan identitas anak (juga korban kekerasan, termasuk perempuan) dalam memberitakan informasi tentang anak, yang khususnya diduga/disangka/didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.

“Jadi di sini yang dilindungi bukan hanya korbannya, pelakunya juga,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya faktor kerahasiaan dalam kasus kasus kekerasan.

“Meskipun kita wartawan yang harus memenuhi unsur 5W + 1H, untuk korban korban kekerasan itu terkecuali,” imbuhnya.

2. Wartawan memberitakan secara faktual kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan atau tidak membuat deskripsi rekonstruksi peristiwa yang bersifat dan sadistis.

3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi di luar kapasitas anak untuk menjawabnya. Misalnya peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya/keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.

4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas anak.

5. Wartawan membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian agar mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif yang berlebihan.

6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak, jika pelaku kejahatan belum ditangkap atau ditahan.

8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual, terkait hubungan darah/keluarga antara korban dan pelaku.

Apabila identitas sudah dimuat, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas pada berita selanjutnya.

Khusus media siber, identitas yang sudah dimuat harus diedit ulang untuk tidak diungkap.

9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera, diperbolehkan mengungkapkan identitas anak. Tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.

10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan terkait politik, eksploitasi, dan yang mengandung unsur SARA.

11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) semata-mata hanya dari media sosial.

12. Wartawan menghormati ketentuan UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penilaian akhir atas sengketa pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers sesuai UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan peraturan peraturan Dewan Pers yang berlaku.

Di akhir, Abdul Manaf menambahkan bahwa sanksi terhadap insan pers yang melanggar PPRA, dipidana paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 500 juta.

sumber : https://edunews.id/dp3a-makassar/dinamis-diskusi-pemkot-dan-media-di-makassar-dorong-pemberitaan-beretika/

Tidak ada komentar

Tinggalkan komentar

 

15 + 20 =